Sedekah
Kampung merupakan tradisi masyarakat Bangka Belitung yang banyak dilakukan di
Kabupaten Bangka Barat, khususnya di Kecamatan Kelapa dan Simpang Teritip,
salah satunya di Desa Peradong.
Peradong
merupakan desa yang sedikit terpencil, bagian dari Kecamatan Simpang Teritip
dan tergolong daerah pedalaman yang telah melakukan ritual Sedekah Kampung
selama puluhan tahun, yang diwariskan oleh nenek moyang. Akan tetapi selama itu
pula tradisi tersebut belum dikenal masyarakat luas, khususnya di Kepulauan Bangka
Belitung.
Sedekah
Kampung seperti halnya tradisi-tradisi lainnya merupakan bagian dari rumpun
Pesta Adat yang banyak dikenal dan dilakukan di wilayah pedesaan. Dalam
pelaksanaannya tidak terlepas dari unsur-unsur atau nilai keagamaan yang
mendominasi dalam ritual pelaksanaan Sedekah Kampung.
Persiapan Sebelum Upacara
Perayaan
Sedekah Kampung telah dilaksanakan secara turun temurun dan tidak diketahui
asal usul serta awal mulai dilaksanakannya. Perayaan ini biasa dilaksanakan
penduduk Desa Peradong setiap tahun bertepatan dengan bulan Maulud (Rabiul
Awwal) dan acaranya berlangsung selama 2 hari yang biasanya pada hari Sabtu dan
Minggu.
Biasanya
acara ini dilaksanakan antara tanggal 15 sampai 30 Rabiul Awwal. Sebelum
pelaksanaan acara tersebut, jauh sebelumnya pada malam hari sang tetua adat
(dukun) sekarang Kek Jemat mengadakan ceriak (beceriak/becerita–musyawarah)
pemanggilan orang-orang kampung sebagai pemberitahuan akan dilaksankannya
upacara adat dan menentukan tanggal yang cocok untuk pelaksanaan upacara
tersebut.
Pada
tanggal yang telah ditetapkan tetua adat sebagai pawang desa dengan dibantu
penduduk setempat memulai membuat batu persucian (taber) dengan menggunakan
bahan-bahan tradisional serta dedaunan dan gaharu (dupa) dari kayu buluh
(bambo). Menurut sang dukun dahulu kala penggunaan dupa ini adalah sebagai alat
untuk menarik minat orang-orang cina yang berdiam didesa tersebut agar memeluk
agama Islam.[1]
Jalannya
Upacara
Setelah
persiapan, seperti; batu persucian (taber) dan gaharu selesai, kemudian pada
hari yang telah ditentukan tersebut, tetua adat dan masyarakat menyiapkan
makanan dan minuman, serta buah-buahan, uang dan binatang peliharaan seperti;
ayam dan bebek untuk diperbutkan setelah ritual upacara permohonan izin
dilakukan.
Semua
peralatan telah dipersiapkan, kira-kira pukul 1 siang dimulai dari balai adat,
tetua adat bersama penduduk arak-arakan menuju istana [2]dengan diiringi
semarang (selawatan barzanji) guna untuk meminta izin dan memulai pelaksanaan
sedekah kampung. Setelah sampai disana, sang dukun kemudian duduk diatas makam
bersamaan dengan dihidangkan berbagai macam jenis makanan khas desa, uang serta
hewan peliharaan seperti ayam dan bebek, kemudian mulai pembacaan do’a dan
mantera.
Setelah
pembacaan do’a dan mantera selesai, penduduk naik keatas makam dan
memperebutkan ayam, bebek dan buah-buahan serta uang yang ada diatas makam
tersebut. Upacara kemudian dilanjutkan penampilan silat yang dilakukan oleh dua
orang, kemudian sang dukun dan penduduk pembantunya melakukan pemberian tangkel
(jimat) di empat penjuru dimulai dari istana tersebut menuju gerbang pintu
masuk kedesa sampai akhir perbatasan desa tersebut. Pemberian jimat ini
dimaksudkan untuk menangkal segala bentuk gangguan dari luar yang tidak
menginginkan acara ini berlangsung.
Dalam
pelaksanaa upacara ini, terdapat beberapa pantangan yang harus dipatuhi oleh
semua orang yang mengikuti jalannya upacara ritual ini, yaitu duduk diatas
pagar, meletakkan jemuran/pakaian berupa apapun diatas pagar dan bermain
senter. Menurut penduduk apabila pantangan tersebut dilanggar, maka akan
didatangi oleh makhluk-makhluk halus dan mengubahnya menjadi tepuler (kepala
dengan wajah terbalik kebelakang). Untuk tetua adat selama acara berlangsung,
tidak boleh makan dan minum.
Ritual
Tradisi Sedekah Kampung Peradong:
1.
Tamat Ngaji / Betamat Massal
Tamat
ngaji (betamat/tamatan Qur’an) merupakan upacara yang dilakukan sebagai petanda
bahwa seorang yang telah melaksanakan tamat ngaji dianggap telah pandai membaca
al-Qur’an. Upacara ini dilakukan dalam rangka mensyukuri anak-anak khususnya
dan remaja yang telah menamatkan bacaan al-Qur’an.
Dalam
tamat ngaji, peserta yang ikut dalam upacara tersebut membaca surat-surat
pendek dari al-Qur’an secara bergantian. Biasanya pembacaan surat-urat pendek tersebut
dimulai dari surat ad-Dhua sampai an-Naas. Anak-anak dan remaja yang tidak
(belum) pernah menamatkan pembacaan al-Qur’an tentu tidak dapat ikut betamat.
Namun bagi mereka yang telah menamatkan al-Qur’an boleh mengikuti untuk kedua
kalinya.
Bagi
masyarakat Peradong, tamatnya anak-anak mereka membaca 30 juz al-Qur’an
merupakan sesuatu yang sangat istimewa, sehingga perlu disyukuri secara khusus.
Ritual ini memiliki makna dan fungsi yang sangat penting dalam pendidikan
keagamaan di masyarakat karena orang yang tidak mampu membaca al-Qur’an atau
tidak fasih dalam membacanya akan menanggung malu dan mendapat gunjingan dari
masyarakat.[3] Untuk upacara ini, tampuk kegiatan dipegang oleh pak Penghulu
mulai acara berlangsung sampai selesai.
Jalannya
upacara ini di mulai pukul 15.00 dengan mengadakan arak-arakan penjemputan
peserta kerumah masing-masing. Arak-arakan masyarakat tersebut dimulai dari
balai desa diiringi dengan selawatan barzanji menuju perbatasan kampung,
kemudian setelah sebagian peserta bergabung dalam arak-arakan tersebut, rute
kembali menuju ke perkampungan.
Kalau
dalam upacara Sayyang Pattudu di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat,
peserta tamat al-Qur’an duduk di atas kuda dengan satu kaki ditekuk ke
belakang, lutut menghadap ke depan, sementara satu kaki yang lainnya terlipat
dengan lutut dihadapkan ke atas dan telapak kaki berpijak pada punggung kuda.
Dengan
posisi seperti itu, para peserta didampingi agar keseimbangannya terpelihara
ketika kuda yang ditunggangi menari.[4] Dalam upacara Sedekah Kampung, peserta
(anak-anak dan remaja) tamat ngaji duduk di atas sepeda yang telah dihiasi
dengan berbagai bentuk dan variasi yang didorong oleh orang tuanya dan orang
dewasa lainnya dengan diikuti anak-anak dan remaja lainnya yang sebaya.
Setelah
semua peserta bergabung dalam arak-arakan tersebut, rute terus dilakukan menuju
ke masjid. Sesampai di masjid, acara dimulai dengan sambutan dari penghulu,
kepala desa dan guru ngaji, sebagaimana tersusun dalam susunan acara.
Kemudian
mulailah tamat ngaji dilakukan, diawali oleh guru ngaji memberikan aba-aba
kepada peserta. Mulailah peserta membaca surat-surat pendek dalam al-Qur’an,
yaitu dalam juz 30 diawali dari surat ad-Duha terus menerus secara bergantian
hingga sampai pada surat an-Naas. Setelah selesai, dilanjutkan dengan pembcaan
do’a khatam alQur’an yang biasanya dibacakan oleh penghulu.
Akhirnya
selesailah upacara tamat ngaji, peserta dan orang tuanya keluar dari masjid
menuju ke rumah masing-masing. Bagi orang tua yang mampu, biasanya pada malam
harinya atau ada juga sebagain yang langsung setelah tamat ngaji mengadakan
selamatan di rumahnya. Bunga dijadikan sebagai simbol tamat ngaji yang dibawa
olah keluarga peserta yang dihiasi dengan telor ayam yang digantungkan disetiap
dahan.
2.
Nganggung
Nganggung
adalah suatu tradisi turun temurun yang hanya bisa dijumpai di Bangka. Karena
tradisi nganggung merupakan identitas Bangka, sesuai dengan slogan Sepintu
Sedulang, yang mencerminkan sifat kegotong royongan, berat sama dipikul ringan
sama dijinjing.[5]
Nganggung
atau yang dikenal masyarakat Bangka dengan Sepintu Sedulang merupakan warisan
nenek moyang yang mencerminkan suatu kehidupan sosial masyarakat berdasarkan
gotong-royong. Setiap bubung rumah melakukan kegiatan tersebut untuk dibawa
kemasjid, surau atau tempat berkumpulnya warga kampung.
Adapun
nganggung merupakan suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam rangka
memperingati hari besar agama Islam, menyambut tamu kehormatan, acara selamatan
orang meninggal, acara pernikahan atau acara apapun yang melibatkan orang
banyak. Nganggung adalah membawa makanan di dalam dulang atau talam yang
ditutup tudung saji ke masjid, surau, atau balai desa untuk dimakan bersama
setelah pelaksanaan ritual agama.[6]
Dalam
acara ini, setiap kepala keluarga membawa dulang yaitu sejenis nampan bulat
sebesar tampah yang terbuat dari aluminium dan ada juga yang terbuat dari
kuningan. Untuk yang terakhir ini sekarang sudah agak langka, tapi sebagian
masyarakat Bangka masih mempunyai dulang kuningan ini.
Didalam
dulang ini tertata aneka jenis makanan sesuai dengan kesepakatan apa yang harus
dibawa. Kalau nganggung kue, yang dibawa kue, nganggung nasi, isi dulang nasi
dan lauk pauk, nganggung ketupat biasanya pada saat lebaran.
Dulang
ini ditutup dengan tudung saji yang dibuat dari daun, sejenis pandan, dan di
cat, tudung saji ini banyak terdapat dipasaran.Dulang ini dibawa ke masjid,
atau tempat acara yang sudah ditetapkan, untuk dihidangkan dan dinikmati
bersama. Hidangan ini dikeluarkan dengan rasa ikhlas, bahkan disertai dengan
rasa bangga.
Namun
dalam perkembangannya sekarang kegiatan nganggung yang masih eksis
dipertahankan pada saat memperingati hari besar agama Islam, dan menyambut tamu
kehormatan.
3.
Sunatan Adat
Sunat
atau khitan secara harfiah berarti sama dengan sunnah dalam bahasa Arab.[7]
Sunat merupakan upacara pemotongan ujung penis anak-laki dalam ukuran tertentu
dalam ajaran Islam bagi anak yang akan memasuki akil baligh.
Dalam
tradisi Betawi, sunat diartikan sebagai proses atau etape pembeda. Bagi seorang
anak laki-laki yang telah disunat berarti telah memasuki dunia akil baligh, maka
dia dituntut atau seharusnya telah mampu membedakan antara yang hak dan yang
bathil. Ia sudah selayaknya mampu menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang
melanggar ajaran agama dan adat kesopanan di masyarakat.[8]
Dengan
kata lain, seorang anak laki-laki yang telah disunat dianggap sudah menjadi
manusia yang sempurna dalam arti untuk menjalankan kewajiban sebagaimana halnya
manusia dewasa sebagai pengabdi. Pelaksanaan sunat adat yang dilakukan oleh
mudim (tukang sunat kampung).
Pelaksanaan
upacara sunat adat dimulai pukul 03.00 WIB peserta (anak-anak) yang akan
disunat berendam didalam air (di aek kapong) kurang lebih selama 3 jam,
kemudian kira-kira pukul 06.00-07.00 pelaksanaan sunatan yang dilakukan oleh
mudim (tukang sunat kampung), orang Betawi menyebutnya dengan bengkong.
Setelah
selesai, peserta sunat diarak-arak keliling kampung dengan menggunakan kereta
hiasan dengan berbagai macam variasi.[9]Sebagaimana dikutip dari Majalah Kompas
tanggal 04 September 2001 tentang proses pelaksanaan sunatan massal di desa
Kundi Kecamatan Simpang Teritip yang juga sama dengan proses pelaksanaan di
desa Peradong:
Menjelang
pelaksanaan khitanan adat, dini hari sekitar pukul 03.30, warga dibangunkan
dengan pukulan kenong oleh Jenang dari Balai Pertemuan sederhana yang disebut
warga Kundi sebagai balai desa. Pukulan kenong itu terdengar jauh juga,
sehingga bisa memba-ngunkan orang yang tengah terlelap tidur. Meski demikian,
kehidupan pasar malam di Kundi yang berlangsung sampai hampir tengah malam,
agaknya banyak membuat warga Kundi kelelahan sehingga hanya sedikit yang bisa
datang ke balai desa.
Di
balai desa inilah empat anak yang akan dikhitan kemudian duduk bersama dua
orang Jenang, dibacakan doa, sementara sejumlah warga lainnya, tua maupun muda,
melakukan tarian Tabo dengan diiringi kenong dan tiga gendang. Beberapa seri
tarian Tabo dimainkan, sampai kemudian para anak yang akan dikhitan dibawa
berjalan beriringan menuju sungai yang lebih mirip kolam. Di tempat yang
jauhnya sekitar satu kilometer dari Bal.
Pukulan
kenong itu terdengar jauh juga, sehingga bisa membangunkan orang yang tengah
terlelap tidur. Meski demikian, kehidupan pasar malam di Kundi yang berlangsung
sampai hampir tengah malam, agaknya banyak membuat warga Kundi kelelahan
sehingga hanya sedikit yang bisa datang ke balai desa.
Di
desa inilah, keempat anak itu kemudian diminta berendam di sebuah kolam yang
terlebih dulu didoa-doai oleh dua orang Jenang. Anak-anak itu ditemani para
orang tua, sebagian warga, dengan iringan musik kenong dan gendang. Dari pukul
04.00 sampai 06.20 keempat anak itu berjongkok merendam setengah badan bagian
bawahnya dalam air, membius kemaluan mereka agar tidak terasa sakit ketika
dikhitan nanti.[10]
Setelah
berendam di aek kapong selama kurang lebih 3 jam, kira-kira pukul 06.00-07.00
pelaksanaan sunatan dilakukan oleh mudim (tukang sunat kampung) secara
bergantian kepada peserta. Alat-alat yang digunakan untuk memotong ujung penis
laki-laki tersebut masih menggunakan alat tradisional, seperti; daun sirih yang
digunakan untuk menghentikan pendarahan, gunting, kapas, bambu yang telah
ditajamkan (dahulunya dipakai sebagai alat untuk memotong ujung penis, sekarang
sudah menggunakan pisau) dan tali dari kain yang digunakan untuk mengikat
sekaligus penahan bagi penis agar tidak bergerak.
Sunat
Diarak Keliling Kampung
Setelah
upacara sunat adat selesai, kemudian anak-anak tersebut diarak-arak keliling
kampung didampingi teman-temannya yang sebaya. Arak-arak dilakukan dengan
menggunakan tandu dan sepeda yang telah dihiasi dengan berbagai macam hiasan
dan diiringi dengan selawatan barzanji, mulai dari ujung kampung (tempat sunat
dilaksanakan, di dekat aek kapong) menuju lorong (gang) hingga kejalan umum,
kemudian diselingi dengan penampilan pencak silat dan akhirnya kembali ketempat
masing-masing.
Dalam
adat Betawi, peserta (pengantin sunat) diarak duduk di atas kuda yang dirias
dengan sedemikian rupa, anatar lain dengan bunga-bunga dan bermacam
buah-buahan. Di dekat ekor kuda digantungkan seikat padi dan sebuah kelapa.
Biasanya, si pengantin sunat akan didampingi teman-temannya mengiringinya
dengan naik delman.
Berjalan
di barisan paling depan adalah grup ondel-ondel yang menari berkeliling
kampung. Rebana ketimpring terus mengiringi sepanjang perjalanan.[11] Tidak
demikian halnya di desa Peradong, peserta sunat diarak sebagaimana arak-arakan
tamat ngaji, yaitu dengan duduk di atas sepeda yang telah dihiasi dengan
berbagai bentuk dan variasi yang didorong oleh orang tuanya dan orang dewasa
lainnya dengan diikuti anak-anak dan remaja lainnya yang sebaya. Rombongan
depan adalah sebagai pembaca selawatan barzanji yang dikomandoi oleh tetua
adat. Setelah selesai, bagi keluarga (orang tua anak) yang mampu, biasanya
mengadakan hajatan (selamatan) di rumah masing-masing.
4.
Selawatan Barzanji
Selawatan
Barzanji merupakan bacaan shalawat yang diambil dari kitab al-Barzanji yang
dibacakan ketika mengiringi setiap arak-arakan yang dilakukan, baik untuk
arak-arakan tamat ngaji maupun untuk sunat adat. Pembacaan tersebut dilakukan
oleh rombongan arak-arakan di baris depan, yang dikomandoi oleh tetua adat.
Untuk irama pembacaan tersebut, hanya beberapa orang saja yang masih bisa untuk
melafalkannya.
Selawat
dilakukan tanpa ada paksaan, bagi remaja yang telah bisa membaca selawatan
tersebut juga diperbolehkan untuk membaca selawat barzanji. Selain untuk
mengiringi arak-arakan, juga untuk memeriahkan dan meramaikan sekaligus untuk
menghibur peserta yang diarak. Khusus untuk arak-arakan tamat nagaji, bertujuan
untuk memotivasi bagi anak-anak dan remaja lainnya agar menamatkan 30 juz
al-Qur’an, sehingga bisa menjadi peserta tamat ngaji di tahun depan. Begitu
juga dengan arak-arakn sunat adat, juga untuk memberikan semangat dan
keberanian kepada mereka yang belum disunat.
5.
Penampilan Pencak Silat
Upacara
ini dilakukan untuk menghibur para penonton yang menyaksikan jalannya kegiatan
upacara sedekah kampung dan juga untuk menghibur anak yang baru saja disunat.
Karena selain masyarakat Peradong, banyak para pengunjung yang datang untuk
menyaksikan jalannya acara tersebut. Pencak silat tersebut diperankan oleh
masyarakat dengan pakaian bebas, bahkan hansip – pun boleh memperagakannya
sebagai aktor.
Pencak
silat ini tidak seperti halnya silat pada umumnya, karena dalam pencak silat
ini hanya menirukan sebagian gerakan-gerakan saja. Dalam penampilannya,
terlihat sedikit lucu karena gerakan-gerakannya bukan gerakan-gerakan dalam
jurus silat.
Gerakan
tersebut dilakukan sesuai dengan gaya masing-masing pemeran dengan sedikit
meniru gerakan dalam jurus silat kampung. Yang menarik perhatian dari
penampilan pencak silat tersebut, adalah ketika pemeran (sebagai aktor)
berupaya memperebutkan uang yang diletakkan masyarakat dan pengunjung yang
dikeluarkan dengan suka rela.
Dengan
gayanya yang sedikit konyol, mereka–pemeran berupaya mempertahankan uang yang
telah mereka dapatkan agar tidak diambil oleh pemeran lainnya. Penampilan ini
biasanya dilakukan oleh dua orang.
Literatur
:
[1]Dinas
Perhubungan , Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bangka Barat, Booklet Pariwisata
Negeri Sejiran Setason, hal. 6.
[2]Istana
adalah sebutan masyarakat terhadap makam keturunan tetua adat yang dijadikan
sebagai tempat ritual upacara permohonan izin untuk melaksanakan Sedekah
Kampung (makam leluhur yang merupakan kakek buyut tetua adat dan sekarang sudah
keturunan kelima).
[3]Zulkifli,
Ibid., hal. 54.
[4]Mancung64’s
Weblog, Theme: Andreas04 oleh Andreas Viklund. Blog pada WordPress.com. Membawa
Cerita, “Cinta,” Budaya dan Mestika dari Bumi Persada.
[5]Mancung64’s
Weblog, Theme: Andreas04 oleh Andreas Viklund. Blog pada WordPress.com. Membawa
Cerita, “Cinta,” Budaya dan Mestika dari Bumi Persada.
[6]Zulkifli,
Ibid., hal. 53.
[7]Yahya
Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, (Jakarta Selatan: Wedatama Widiya
Sastra, 2008), cet. Pertama, hal. 17.
[8]Ibid.
[9]Runi
Pardi (Kepala Desa), Wawancara, di desa Peradong.
[10]http://www.kompas.com/kompas-cetak/0109/04/daerah/sema20.htm,
Semangat Kundi Mempertahankan Adat, Kompas/rakaryan sukarjaputra, From:
apakabar@saltmine.radix.net, Date: Tue Sep 04 2001 – 10:54:29 EDT, Selasa, 4
September 2001, di akses tanggal 07 November 2008.
[11]Yahya
Andi Saputra, ibid,. Hal. 21.
Artikel
ini di tulis oleh :
Suryan
Masrin
(Sekretaris
Karang Taruna Peradong 2007-2012 dan Anggota HMI Babel)
Alamat:
Riding Panjang Merawang Bangka
Email
: mia_aza@yahoo.com
Source
: ubb.ac.id
Thanks for reading & sharing Bangka Belitung Negeri Serumpun Sebalai
0 komentar:
Post a Comment