Tahun-tahun 70-an masih sering “kereto surung” masuk ke daerah desa seperti desa kakek dan nenek saya Desa Teru, kec. simpang katis . Biasanya penjual kayu api, atau arang membawa dagangan nya ke pasar. Menurut Mary F.Somers Heidhues dalam Bukunya “Timah Bangka dan Lada Mentok” mengutip Van Den Bogaart mengatakan bahwa, orang Tionghoa mengangkut batang-batang timah dengan gerobak tangan dari kayu dan menghindari lokasi-lokasi terpencil dimana timah mungkin harus dipikul dalam jarak yang sangat jauh.
Pada Th.1830, Boggart menggambarkan alat transportasi tangan ini dalam sebuah buku hal.42, Bogaart menulis: “Gerobak Tionghoa digunakan secara luas di Bangka dan satu model gerobak ini ada di Museum Jakarta sebagai contoh dari Budaya orang Bangka asli”.
Cf Helbig (1940), hal 190, yang mencatat gerobak di seluruh Bangka dan Belitung, yang tidak dijumpai di wilayah Indonesia lainnya. Dalam kunjungannya ke Hindia pada tahun 1896, Raja Chulalongkorn dari Siam, mampir ke Mentok dan mencatat dalam catatan hariannya, tentang gerobak sebagai alat transportasi barang, Membedah Cerita Kereto Surung Sepeda Asli Budaya Bangka
Kesawattana (1987) hal. 18-19 (Dr.Cl.Salmonmemberi rujukan ini). Belanda dengan bergairah menyebut kendaraan ini “piepkar”, yang tidak pernah diminyaki dan mengingatkan orang Eropa tentang cicitan suara babi. Gerobak tangan Tionghoa berbeda dengan gerobak Barat karena beratnya ditopang roda, bukan di lengan orang yang mendorong.
Jadi kereto surung ini memang kendaraan orang Tionghoa di Bangka jaman dulu, yang awalnya merupakan alat bantu angkut secara luas, ketika melakukan penambangan timah. Dalam perkembangannya alat angkut ini menjadi serbaguna, baik untuk pertambangan maupun kehidupan sehari-hari. Akhirnya digunakan secara umum oleh orang Bangka hingga sampai sekarang masih digunakan, Membedah Cerita Kereto Surung Sepeda Asli Budaya Bangka.
Thanks for reading & sharing Bangka Belitung Negeri Serumpun Sebalai
0 komentar:
Post a Comment