UNESCO pada 2011 menyebut terdapat 15 bahasa daerah di Indonesia yang telah telah punah. Dalam waktu yang tidak lama, Belitung kemungkinan akan menyumbang satu atau dua bahasa untuk menggenapi kepunahan tersebut.
“Selamat detang di Negrik Laskar Pelangek. Akuk mengewakilnyak derik Sukuk Sawang ngucapnyak terima kasih ke iko, semuak usak ade masala akuk ngucapla selamat semuak nyaman iko bejelan,”
Inilah Bahasa Suku Sawang yang artinya, ‘Selamat datang di Negeri Laskar Pelangi. Saya mewakili Suku Sawang mengucapkan terima kasih, semoga perjalanan anda selamat dan menyenangkan’.
Kalimat ini dituturkan langsung oleh Senati (55) ketika Pos Belitung memintanya mencontohkan kata sambutan dalam Bahasa Sawang untuk menyambut kedatangan wisatawan.
Saniati yang akrab disapa Mak Tatong merupakan generasi asli dari Suku Sawang yang masih menggunakan Bahasa Laut. Ia biasa menggunakan bahasa tersebut dalam aktivitas sehari-hari di lingkungan keluarga.
Namun semakin hari Bahasa Laut Suku Sawang hampir jarang digunakan oleh para generasi muda. Bahkan cucu-cucu Saniati tidak lagi menggunakan bahasa tersebut ketika berkomunikasi di lingkungan keluarga.
Jadi bukan hal aneh lagi dalam rumah Saniati, pertanyaan dalam Bahasa Laut dijawab dengan Bahasa Melayu Belitong. Para generasi muda Suku Sawang pada dasarnya paham, tapi tidak bisa menuturkan bahasa laut dengan baik.
“Die (cucu) cuma mendengar, aku cakap laut die cakap melayu, nah gitu, die dak nak cakap laut” kata Saniati kepada Pos Belitung, Jumat (10/1) sore.
Saniati tidak bisa memastikan apa penyebab para generasi muda semakin sulit untuk menuturkan bahasa laut dalam pergaulan sehari-hari. Ia hanya bisa menduga-duga beberapa kemungkinan. Di antaranya karena perkawinan campuran antara anak Suku Sawang dengan Melayu Belitong.
Pergaulan sehari-sehari di sekolah dan lingkungan bermain juga diprediksi oleh Saniati telah membuat anak Suku Sawang secara tidak sadar malu menjaga kelangsungan bahasanya sendiri.
Sejauh ini tidak ada usaha khusus dari para sesepuh Suku Sawang untuk mengajarkan Bahasa Laut kepada generasi muda. Menurut Saniati, Bahasa Laut tidak akan hilang selama para orang tua tetap memperdengarkannya kepada anak-anak.
“Biar mereka tidak mau bicara bahasa laut, tapi kami tetap pakai bahasa laut, nanti dia akan belajar sendiri, dak perlu diajari,” kata Saniati.
Kecerdasan Suku Sawang dalam mempelajari bahasa bisa dilihat dari kemampuan mereka berkomunikasi dengan Bahasa Melayu Belitong. Semua mereka pelajari secara otodidak dalam pergaulan sehari-hari.
Rasanya hampir sulit mengindentifikasi Saniati sebagai Orang Laut ketika ia berbicara dengan Bahasa Melayu Belitong. Menurut Saniati, kecepatan mengadopsi bahasa luar hampir dimiliki oleh semua orang Suku Sawang.
“Kakik (Suami), malah bisa berbahasa Inggris walau tidak tamat SD, dia biasa bawa orang-orang kapal berbelanja ke pasar,” kata Saniati.
Hampir Punah
Keberlangsungan Bahasa Laut memang tampaknya masih memiliki harapan. Namun, bahasa lain yang juga ada di Desa Juru Sebarang saat ini tinggal menunggu waktu menuju ambang kepunahan.
Bahasa itu disebut dengan Bahasa Juru. Bahasa ini digunakan oleh Orang Juru yakni para penghuni lama Kampung Juru Sebarang.
Musa Mustafa (61) adalah satu dari sedikit generasi asli Orang Juru yang bermukim di Desa Juru Seberang. Menurut dia, nenek moyang Orang Juru semula berasal dar Johor di semenanjung Malaysia.
Sepintas, Bahasa Orang Juru terdengar hampir sama dengan Bahasa Laut. Namun setelah didengar dengan seksama, kedua bahasa itu sesungguhnya memang berbeda.
Kondisi ini membuat kebanyakan orang sering salah mengenali Orang Juru dengan Orang Laut Suku Sawang. Padahal, keduanya merupakan dua kelompok masyarakat yang berbeda dengan bahasa yang berbeda pula.
Pada masa orang tua Musa dulu, Bahasa Juru masih sering digunakan di lingkungan keluarga dan sesama Orang Juru. Namun belakangan, bahasa itu sudah ditinggalkan dan nyaris tidak terdengar lagi di Desa Juru Seberang.
“Tidak ada lagi yang tahu, kemungkinan tidak sampai 10 orang yang bisa Bahasa Juru, mungkin setelah saya meninggal, kerabat dan beberapa orang tua di atas kami sudah meninggal, habislah bahasa itu, bahasa kami ini mungkin hanya bisa dimengerti, tapi tidak ada lagi yang menggunakannya,” kata Musa kepada Pos Belitung, Kamis (9/1) sore.
Banyak faktor yang menyebabkan Bahasa Juru semakin ditinggalkan generasinya sendiri. Perpindahan penduduk, perkawinan campuran, dan pengaruh masa lalu.
Menurut Musa, masa lalu Orang Juru dipenuhi dengan ancaman. Dari cerita turun temurun, nenek moyang mereka dulu mengembara ke lautan atas perintah Punggawa Johor untuk mencari ‘sesuatu’ yang dibutuhkan dalam prosesi perkawinan Putri Raja.
Orang Juru ini tidak diperkenankan pulang jika ‘sesuatu’ tersebut tidak bisa ditemukan. Ancamanannya tidak main-main, siapa yang pulang tanpa membawa hasil maka mereka akan dibunuh.
Gagal menunaikan tugas, akhirnya membuat Orang Juru memilih menetap di Belitung. Mereka sebisa mungkin menutup-nutupi keberadaannya di Belitung agar tidak ketahuan oleh Johor.
Dengan sikap seperti itu, Musa mengatakan citra Orang Juru menjadi buruk di mata sebagian penduduk Kota Tanjungpandan. Tak jarang ada selentingan, anak-anak orang kota di larang bergaul dengan anak-anak Orang Juru lantaran mereka disebut sebagai orang buangan.
Citra itu membuat generasi di era Musa terkadang merasa malu menggunakan Bahasa Juru. Namun belakangan, Musa menyadari mereka dulu seharusnya tidak perlu merasa malu menggunakan bahasa tersebut.
“Orang-orang tua kami dulu tetap pakai Bahasa Juru walau di Kota, tapi kami tidak, sekarang baru tahu, kalau bahasa itu sebenrnya adalah bagian dari kebudayaan dan perlu kita jaga,” kata Musa.
Penelantaran Bahasa
National Geographic Indonesia Edisi Juli 2012 melansir penduduk bumi yang 7000 miliar menggunakan sekitar 7000 bahasa, jika dibagi rata setiap bahasa setidaknya memiliki sejuta penutur.
Namun kenyataannya, 78 persen populasi dunia menggunakan 85 bahasa terbesar. Bahasa Inggris digunakan 328 juta orang sebagai bahasa utama, dan Mandarin 845 juta.
Ketika pergantian abad nanti, menurut ahli bahasa, hampir setengah dari bahasa di dunia saat ini mungkin punah. Lebih dari 1000 yang dinyatakan kritis atau sangat genting.
Ancaman kepunahan bahasa perlu mendapat perhatian. Sebab, kepunahan bahasa sama dengan kepunahan peradaban manusia secara keseluruhan.
Menurut penelitian, di Indonesia ada 169 bahasa etnis/daerah yang terancam punah. Hal ini yang kemudian menjadi fokus dalam seminar “Pengembangan dan perlindungan bahasa, kebudayaan etnik minoritas untuk penguatan bangsa,” Kamis (15/12/2011) di LIPI Jakarta.
Dalam seminar itu disebutkan ada empat sebab kepunahan bahasa etnis. Pertama, para penuturnya berfikir tentang dirinya sebagai inferior secara sosial.
Kedua, keterikatan pada masa lalu, ketiga sisi tradisional, dan terakhir secara ekonomi ekonomi kehidupannya stagnan.
“Keempat sebab ini disebut oleh sejumlah linguis sebagai proses ‘penelantaran bahasa’,” kata Drs.Abdul Rachman Patji dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI.
Di luar itu, ada faktor urbanisasi dan perkawinan antar etnis. Urbanisasi berpengaruh karena jika dua orang dari daerah pindah ke kota besar atau ibukota, maka dalam berinteraksi dengan etnis lain bahasa etnisnya cendrung ditinggalkan.
“Penyebab utama kepunahan bahasa pun karena para orang tua tidak lagi mengajarkan kepada anak-anaknya bahasa ibu mereka dan mereka juga tidak secara aktif menggunakannya di rumah atau di dalam berbagai ranah komunikasi,” kata Abdul
Secara lebih luas, menurut Abdul, faktor-faktor yang mempercepat kepunahan bahasa juga datang dari kebijakan pemerintah dan penggunaan bahasa dalam pendidikan serta tekanan bahasa dominan dalam suatu masyarakat multi bahasa yang berdampingan.(*)
Perlu Pendokumentasian
Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa, Badan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Sugiyono memberikan perhatian sejak lama pada ancaman kepunahan bahasa daera. Hal itu ia ungkapkan dalam artikelnya yang dimuat di website Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, 19/3/2013
Menurut dia, khazanah bahasa dan sastra di Indonesia sangat beragam, tapi sebagian besar dari keberagaman itu berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Beberapa bahasa memang masih tergolong dalam posisi aman, tetapi tidak sedikit bahasa yang dalam posisi terancam, hampir punah, atau bahkan telah punah.
Dasar hukum yang melandasi kebijakan penanganan bahasa dan sastra daerah telah ditetapkan, baik dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang nomor 24 tahun 2009. Keduanya mencerminkan kemauan politik pemerintah yang nyata, tetapi realisasi upaya pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa dan sastra daerah belum optimal.
Dalam rangka optimalisasi, beberapa provinsi telah melahirkan perda, demikian juga beberapa kementrian. Akan tetapi, optimalisasi upaya pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa daerah belum dilakukan dalam batas-batas yang seharusnya.
Menurut UNESCO, seperti yang tertuang dalam Atlas of the World’s Language in Danger of Disappearing, di Indonesia terdapat lebih dari 640 bahasa daerah (2001:40). Dari jumlah tersebut terdapat kurang lebih 154 bahasa yang harus diperhatikan, yaitu sekitar 139 bahasa terancam punah dan 15 bahasa yang benar-benar telah mati. Bahasa yang telah punah berada di Maluku (11 bahasa), Papua Barat, Kepulauan Halmahera, Sulawesi, serta Sumatera (masing-masing 1 bahasa).
Upaya pengembangan, pembinaan, dan pelestarian bahasa dilakukan terhadap obyek wisata dan sastra berdasarkan kondisi atau vitalitasnya. Pada 2002 dan 2003, UNESCO dengan bantuan kelompok linguis internasional menetapkan kerangka untuk menentukan vitalitas (kemampuan untuk bertahan) bahasa untuk membantu pemerintah membuat kebijakan penanganan bahasa di negaranya.
Kelompok itu menetapkan Sembilan criteria untuk mengukur vitalitas bahasa. Antara lain, jumlah penutur, proporsi penutur dalam populasi total, ketersediaan bahan ajar, respons bahasa terhadap media baru, tipe dan kualitas dokumentasi, sikap bahasa dan kebijakan pemerintah dan institusi, peralihan ranah penggunaan bahasa, sikap angggota komunitas terhadap bahasanya, serta transmisi antar generasi.
Berdasarkan kriteria itu, vitalitas bahasa digolongkan menjadi enam kelompok.
- Pertama, bahasa yang punah (extinct languages) yakni bahasa tanpa penutur lagi.
- Kedua, bahasa yang hampir punah (nearly extinct languages), yakni bahasa dengan sebanyak-banyaknya sepuluh penutur yang semuanya generasi tua.
- Ketiga, bahasa yang sangat terancam (seriously endangered languages) yakni bahasa dengan jumlah penutur yang masih banyak, tetapi anak-anak mereka sudah tidak menggunakan bahasa itu.
- Keempat, bahasa yang terancam (endangered languages) yakni bahasa dengan penutur anak-anak, tapi cendrung menurun.
- Kelima, bahasa yang potensial terancam (potentially endangered languages) yakni bahasa dengan banyak penutur anak-anak tetapi bahasa itu tidak memiliki status resmi atau yang prestisius.
- Dan keenam, bahasa yang tidak terancam (not endangered languages) yakni bahasa yang memiliki transmisi ke generasi baru yang sangat bagus.
Bahasa di Indonesia mempunyai jumlah penutur yang sangat beragam. Vitalitas bahasa di Indonesia menyebar dari status yang paling aman hingga yang benar-benar punah.
Di antara bahasa daerah di Indonesia terdapat tiga bahasa yang jumlah penuturnya di atas 10 juta jiwa, yakni Bahasa Jawa, Sunda, dan bahasa Madura.
Penanganan bahasa daerah diklasifikasikan berdasarkan pengelompokan vitalitas bahasa tersebut. Pengembangan dan pembinaan dilakukan terhadap bahasa yang masih dalam status tidak terancam dan bahasa yang mempunyai potensi terancam.
Bahasa dalam vitalitas kedua itu masih dapat direvitalisasi. Dengan pengembangan bahasa itu, kita akan mempunyai korpus yang memadai untuk membahasakan apa saja, mempunyai akselerasi yang bagus terhadap dunia pendidikan dan perkembangan iptek, serta dapat mengantisipasi munculnya media baru.
Pembinaan dilakukan agar bahasa itu mempunyai transmisi antargenerasi yang baik, baik transmisi melalui dunia pendidikan, maupun transmisi melalui interaksi dalam ranah rumah tangga. Selain itu upaya pengembangan dan perlindungan juga dilakukan dengan memantapkan status bahasa, mengoptimalkan dokumentasi, serta menumbuhkan sikap positif penuturnya.
Perlindungan terhadap bahasa sekurang-kurangnya dilakukan dua tingkat yaitu tingkat dokumentasi dan tingkat revitalisasi. Perlindungan bahasa di tingkat dokumentasi akan dilakukan pada bahasa yang sudah tidak ada harapan untuk digunakan kembali oleh masyarakatnya.
Bahasa yang dalam keadaan hampir punah dan bahasa yang sangat terancam hanya bisa dilindungi dengan mendokumentasikan bahasa itu, sebelum bahasa itu benar-benar punah. Dokumentasi itu penting untuk menyiapkan bahan kajian jika suatu saat diperlukan.
Thanks for reading & sharing Bangka Belitung Negeri Serumpun Sebalai
0 komentar:
Post a Comment