Kepulauan
Bangka-Belitung (Babel) adalah salah satu provinsi di Pulau Sumatera,
Indonesia. Disebut kepulauan, karena wilayah provinsi ini terdiri dari beberapa
pulau. Salah satu di antaranya adalah Pulau Bangka, yang terletak di sebelah
timur Pulau Sumatera. Secara topografis, wilayah Pulau Bangka terdiri dari
rawa-rawa, daratan rendah, dan perbukitan. Di daerah perbukitan terdapat hutan
lebat, sedangkan pada daerah rawa terdapat hutan bakau.
Menurut
sebuah cerita yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Pulau Bangka, pada
zaman dahulu di daerah perbukitan yang dihampari hutan lebat itu, pernah hidup
seorang pemuda yatim-piatu yang miskin. Sehari-harinya, ia bekerja sebagai
pemburu babi hutan. Suatu ketika, pemuda itu mendapat hadiah berupa perhiasan emas,
intan permata dan berlian dari seseorang sehingga ia menjadi kaya-raya. Apa
sebenarnya yang telah dilakukan pemuda itu, sehingga ia mendapat hadiah yang
sangat berharga itu? Ingin tahun jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Si
Penyumpit berikut ini!
Alkisah,
pada zaman dahulu kala, di sebuah daerah di Pulau Bangka, hiduplah seorang
pemuda yang sangat mahir menyumpit binatang buruan. Sumpitannya selalu mengenai
sasaran. Oleh karenanya, masyarakat memanggilnya si Penyumpit. Selain mahir
menyumpit, ia juga pandai mengobati berbagai macam penyakit. Bakat menyumpit
dan mengobati tersebut ia peroleh dari ayahnya.
Pada
suatu hari, Pak Raje, Kepala Desa di kampung itu, meminta si Penyumpit untuk
mengusir kawanan babi hutan yang telah merusak tanaman padinya yang sedang
berbuah, dengan dalih bahwa orang tua si Penyumpit sewaktu masih hidup pernah
berhutang kepadanya. Demi membayar hutang orang tuanya, si Penyumpit rela
bekerja pada Pak Raje.
Keesokan
harinya, berangkatlah si Penyumpit ke ladang Pak Raje untuk melaksanakan tugas.
Sesampainya di ladang, ia membakar kemenyan untuk memohon kepada dewa-dewa dan
mentemau (dewa babi), agar kawanan babi tersebut tidak merusak tanaman padi Pak
Raje. Si Penyumpit kemudian melakukan ronda dengan memantau seluruh sudut
ladang hingga larut malam. Sudah tiga malam si Penyumpit meronda, namun belum
terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. Meskipun situasi aman, si Penyumpit
terus berjaga-jaga.
Ketika
memasuki malam ketujuh, dari kejauhan tampak oleh si Penyumpit tujuh kawanan
babi hutan sedang beriring-iringan hendak memasuki ladang. Satu per satu babi
hutan itu melompati pagar batu yang telah dibuat Pak Raje. Mengetahui hal itu,
si Penyumpit segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar dengan sumpit di
tangan yang siap untuk digunakan. Ketika kawanan babi tersebut mulai
mengobrak-abrik tanaman padi yang tak jauh dari pohon tempat ia bersembunyi,
dengan hati-hati pemuda itu mengangkat sumpitnya, lalu disumpitkannya ke arah
babi yang paling dekat dengannya. Sumpitannya tepat mengenahi sisi sebelah kiri
perut babi itu. Sesaat kemudian, kawanan babi itu tiba-tiba menghilang bersama
dengan anak sumpitnya. Melihat peristiwa aneh itu, si Penyumpit menjadi
penasaran.
Keesokan
harinya, si Penyumpit menyusuri ceceran darah hingga ke tengah hutan.
Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan sebuah gua yang di sekelilingnya
ditumbuhi semak-belukar. Dengan hati-hati, pemuda itu memasuki gua tersebut.
Sesampainya di dalam, ia sangat terkejut, karena melihat seorang putri yang
tergeletak di atas pembaringan yang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik.
Salah seorang dari wanita tersebut adalah ibu sang Putri.
“Hai,
anak muda! Engkau siapa?” tanya ibu sang putri.
“Saya
si Penyumpit,” jawab si pemuda dengan ramah.
“Ada
perlu apa Engkau ke sini?” tanya ibu sang putri dengan nada menyelidik.
“Saya
sedang mencari anak sumpit saya yang hilang bersama dengan seekor babi hutan,”
jawabnya.
“Benda
yang engkau cari itu ada pada putriku,” kata ibu sang putri.
“Bagaimana
bisa anak sumpit saya ada pada putri Bibi?” tanya si Penyumpit heran.
“Ketahuilah,
anak muda! Babi yang engkau sumpit itu adalah penjelmaan putriku,‘ jelas ibu
sang putri.
Si
Penyumpit sangat kaget mendengar penjelasan ibu sang putri.
“Jadi…,
kalian adalah babi jadi-jadian?” tanya si Penyumpit dengan heran.
“Benar,
anak muda,” jawab ibu sang putri.
“Kalau
begitu, saya minta maaf, karena tidak mengetahui hal itu,” kata si Penyumpit
dengan rasa menyesal.
“Sudahlah,
anak muda. Lupakan saja semua kejadian itu. Yang penting sekarang adalah
bagaimana melepaskan benda ini dari perut putriku,” kata ibu sang putri.
“Baiklah.
Saya akan melepaskan anak sumpit itu dan mengobati luka putri bibi. Tolong saya
dicarikan beberapa helai daun keremunting[1] dan tumbuklah hingga halus,” pinta
si Penyumpit.
Untuk
memenuhi permintaan itu, ibu sang putri segera memerintahkan beberapa dayangnya
untuk mencari daun keremunting yang banyak terdapat di sekitar mereka. Tak
berapa lama, dayang-dayang tersebut sudah kembali dengan membawa daun yang
dimaksud. Setelah yang diperlukan disiapkan, si Penyumpit mendekati gadis
cantik yang sedang terbaring lemas itu, lalu membuka selimut yang menutupi
tubuhnya. Tampaklah sebuah benda runcing yang menancap di perut sang putri,
yang tidak lain adalah mata sumpit miliknya. Sambil mulutnya komat-kamit
membaca mantra, si Penyumpit mencabut mata sumpit itu dengan pelan-pelan.
Setelah mata sumpit terlepas, bekas luka tersebut kemudian ditutupinya dengan
daun keremunting yang sudah dihaluskan untuk menahan cucuran darah yang keluar.
Beberapa
saat kemudian, luka sang putri sembuh dan tidak meninggalkan bekas luka sedikit
pun.
“Sekarang
putri Bibi sudah sembuh. Izinkanlah saya mohon diri,” pamit pemuda itu dengan
sopan.
“Baiklah,
anak muda! Ini ada oleh-oleh sebagai ucapan terima kasih kami, karena engkau
telah menyembuhkan putriku. Bungkusan ini berisi kunyit, buah nyatoh,[2] daun
simpur,[3] dan buah jering.[4] Tapi, bungkusan ini jangan dibuka sebelum engkau
sampai di rumah,” pesan ibu sang putri.
“Baik,
Bi!” jawab pemuda itu, lalu pergi meninggalkan gua.
Setibanya
di rumah, si Penyumpit segera membuka bungkusan tersebut. Alangkah terkejutnya
ia, karena isi bungkusan itu tidak seperti yang disebutkan ibu sang putri.
Bungkusan itu ternyata berisi perhiasan berupa emas, berlian, dan intan
permata.
“Waw…,
berharga sekali benda ini!” tanya si Penyumpit dengan rasa kagum.
“Dengan
benda ini, aku akan menjadi kaya-raya,” gumamnya dengan perasaan gembira.
Keesokan
harinya, si Penyumpit pergi menjual seluruh benda berharga itu kepada seorang
saudagar kaya di kampung itu. Hasil penjualannya ia gunakan untuk membeli
ladang yang luas, rumah mewah, dan melunasi seluruh hutang ayahnya kepada Pak
Raje.
Sejak
itu, tersiarlah kabar bahwa si Penyumpit telah menjadi kaya-raya. Berita itu
juga didengar oleh Pak Raje. Ia pun berniat untuk mengikuti jejak si Penyumpit.
Suatu hari, Pak Raje meminjam sumpit pemuda itu dan kemudian pergi berburu babi
hutan di ladang miliknya. Dalam perburuannya, ia berhasil menyumpit seekor
babi. Setelah itu ia mengikuti jejak dan menemukan babi hutan itu, yang
ternyata penjelmaan sang putri. Pak Raje berusaha menyembuhkan luka yang
diderita oleh sang Putri, namun tidak berhasil karena ia tidak memiliki
keahlian mengobati penyakit. Akhirnya, ia diserang berpuluh-puluh babi hutan.
Dengan tubuh yang penuh luka-luka, ia berjalan sempoyongan pulang ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, Pak Raje langsung tergeletak tidak sadarkan diri, karena
tidak tahan lagi menahan rasa sakit.
Putri
sulung Pak Raje segera menyampaikan nasib malang yang menimpa ayahnya itu
kepada si Penyumpit. Mendengar kabar itu, si Penyumpit segera ke rumah Pak Raje
untuk menolongnya. Si Penyumpit kemudian mengobati Pak Raje dengan 7 helai
daun. Setelah itu ia membakar kemenyan, lalu menyebut satu per satu anggota
tubuh Pak Raje, seperti tangan, kaki, kepala, dan lain-lain. Terakhir, ia
menyebut nama Pak Raje. Ketika asap kemenyan itu mengepul, di Penyumpit
kemudian membaca mantera. Tak lama kemudian, tampak jari tangan Pak Raje
bergerak-gerak. Dengan pelan-pelan ia mengusap-usap matanya hingga tiga kali.
Akhirnya, Pak Raje sadarkan diri dan sembuh dari penyakitnya.
Setelah
itu Pak Raje insaf (sadar) dan mengakui semua kesalahannya kepada si Penyumpit.
“Terima
kasih, Penyumpit! Kamu telah menyembuhkan penyakitku. Aku minta maaf karena
telah memaksamu menjaga ladangku. Untuk menebus kesalahanku ini, aku akan
menikahkanmu dengan putri bungsuku. Setelah itu, aku akan mengangkatmu menjadi
Kepala Desa untuk menggantikanku. Bersediakah kamu menerima tawaranku ini,
wahai Penyumpit?” tanya Pak Raje.
“Terima
kasih, Pak Raje! Dengan senang hati, saya bersedia,” jawab si Penyumpit.
“Baiklah
kalau begitu. Berita gembira ini akan segera aku sampaikan kepada seluruh warga
kampung ini,” kata Pak Raje.
Satu
minggu kemudian, pernikahan si Penyumpit dengan putri bungsu Pak Raje
dilangsungkan dengan meriah. Berbagai macam seni pertunjukan ditampilkan dalam
acara tersebut. Pak Raje bersama keluarganya beserta seluruh warga desa turut
bergembira atas pernikahan itu. Di akhir acara, Pak Raje menyerahkan jabatannya
sebagai Kepala Desa kepada menantunya yang baik hati itu. Sepasang insan yang
baru menjadi suami-istri itu hidup berbahagia. Warganya pun hidup tentram dan
damai di bawah perintah Kepala Desa yang baru, si Penyumpit.
Demikian
cerita rakyat Si Penyumpit dari Pulau Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung. Cerita
di atas mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari
cerita di atas, yaitu sifat suka menolong dan pandai membalas budi.
Pertama,
sifat suka menolong. Sifat ini tercermin pada perilaku si Penyumpit yang telah
menyembuhkan penyakit sang Putri dan Pak Raje. Sifat ini termasuk sifat yang
terpuji dan sangat diutamakan dalam kehidupan orang Melayu, sebagaimana
dikatakan dalam untaian syair berikut ini:
wahai
ananda dengarlah manat,
tulus
dan ikhlas jadikan azimat
berkorban
menolong sesama umat
semoga
hidupmu beroleh rahmat
Kedua,
sifat pandai berbalas budi. Sifat ini tercermin pada sikap ibu sang Putri yang
telah memberikan hadiah kepada si Penyumpit berupa perhiasan emas, intan dan
berlian, karena telah menyembuhkan penyakit putrinya. Demikian pula, Pak Raje yang
telah menikahkan putri bungsunya dengan si Penyumpit, karena telah menyembuhkan
penyakitnya. Sifat ini termasuk sifat yang terpuji dan sangat diutamakan dalam
kehidupan orang Melayu, sebagaimana dikatakan dalam ungkapan berikut ini:
apa
tanda melayu pilihan,
membalas
budi ia utamakan
Thanks for reading & sharing Bangka Belitung Negeri Serumpun Sebalai
0 komentar:
Post a Comment