Tugu Pahlawan 12 |
Pahlawan 12 memang sudah di kenal masyarakat di Pulau Bangka, ke-12 pahlawan ini diabadikan dalam sebuah monumen yang diberi nama Tugu Pahlwan 12 di petaling. yang menariknya dari pahlawan 12 ini yaitu angka yang serba 12 kebetulan atau tidak. Terdapat 12 Tentara Keamanan Rakyat yang gugur melawan penjajah pada tanggal 12 Februari 1946 pukul 12.00 di km 12 petaling. Keduabelas/12 pejuang ini dimakamkan dalam satu lubang di kaki Bukit Ma Andil dan diabadikan dengan nama Pahlawan 12. Ini dia ke 12 Pahlawan yang gugur :
1. Adam A. Cholik
2. Suwandi Bungkel
3. A. Somad
4. Jamak Asikin
5. A. Madjid Gambang
6. Apip Adi
7. Ali Samid
8. Salim Adok
9. Sarimin Senen
10. Kamsem
11. Karto Saleh
12. Sulaiman Saimin
Nama ke-12 Pahlawan di Tugu Pahlwan 12 Petaling |
Pada tanggal 8 November 1973, atas perintah Bupati Bangka yang ketika itu dijabat oleh M Arub, kerangka para pejuang ini digali dan dipindahkan ke makam Pahlawan Padma Satria Sungailiat. Sebelum dibawa ke Sungailiat, sempat diinapkan satu malam di Kantor Camat Mendobarat. Keesokan harinya, tanggal 9 November 1973 kerangka tersebut diberangkatkan ke Sungailiat dengan pengawalan ketat. Pada tanggal 10 November 1973 dimakamkan kembali dengan upacara militer dalam rangka memperingati Hari Pahlawan ke-28.
Untuk mengenang jasa dan perjuangan 12 orang kusuma bangsa itu, Pemkab Bangka membangun monumen Pahlawan 12. Peletakan batu pertama monumen berlangsung pada tanggal 19 Desember 1980 dan diresmikan pada tanggal 14 Febuari 1981, bertepatan dengan peringatan ke 35 tahun tragedi pertempuran di Kilometer 12 Petaling.
Bekas makam Pahlawan 12 |
Sayangnya, pembangunan monumen tak diimbangi dengan perhatian terhadap bekas makam Pahlawan 12 yang sangat dihormati oleh warga Mendobarat kendati kerangka para pahlawan sudah digali dan dipindahkan. Bekas makam itu dibiarkan terlantar dan dilingkari batu bata yang telah berlumut serta nisan dari bekas botol syrup. Beginikah cara kita menghargai para pejuang bangsa?
Suku Lom adalah suku unik yang tinggal wilayah Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Suku Lom sering disebut juga sebagai suku Mapur, karena awalnya sebagian besar anggota suku tinggal di dusun Mapur. suku Lom disebut-sebut sebagai salahsatu komunitas yang masih kuat memegang kemurnian tradisi.
Ada banyak misteri yang menyelubungi suku Lom di Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka. Asal-usul suku Lom merupakan misteri tersendiri yang sering dijadikan bahan spekulasi oleh sebagian masyarakat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Spekulasi semakin berkembang karena suku Lom sendiri tidak memiliki catatan tertulis tentang akar sejarahnya.
Asal-usul mereka hanya disandarkan pada cerita tetua adat yang dituturkan secara lisan dari generasi ke generasi. Cerita lisan itu semakin lama semakin menyusut seiring meninggalnya tokoh-tokoh tua dan minimnya tokoh muda yang tertarik untuk menyerap cerita itu secara lengkap. "Saya tidak banyak tahu sehingga sulit menjelaskan dari mana asal- usul nenek moyang kami. Kami percaya, dahulu ada Kek Anta yang sangat sakti. Konon kami ini termasuk keturunannya," ujar Sairin, salah seorang tetua suku Lom, pertengahan Mei lalu.
Legenda tentang Kek Anta banyak dihubungkan dengan peninggalan batu yang menyimpan bekas telapak kaki Kek Anta di sekitar Pantai Pejam, Belinyu. Batu Rusa di daerah Sungailiat juga dipercaya sebagai peninggalan Kek Anta.
"Alkisah, ada seorang sedang mengintip rusa untuk ditombak. Saat itu Kek Anta kebetulan lewat, lalu memanggil si pemburu. Tetapi, orang itu hanya diam saja seperti batu. Kek Anta langsung mengutuknya sehingga benar-benar menjadi batu," tutur Sairin.
Seorang peneliti dari Norwegia yang pernah tinggal selama beberapa tahun di tengah suku Lom, Olaf H Smedal, menulis buku yang menarik, Orang Lom: Preliminary Findings on a Non-Muslim Malay Group in Indonesia (1988). Menurut Smedal, terdapat catatan anonim berangka tahun 1862 yang menceritakan dua legenda asal-usul Suku Lom. Kedua legenda itu masih hidup di tengah suku Lom hingga sekarang.
Salah satu legenda menceritakan, sekitar abad ke-14 Masehi, sebuah kapal yang ditumpangi sekelompok orang dari daerah Vietnam terdampar dan rusak di pantai Tanjung Tuing, Kecamatan Belinyu. Semua penumpang tewas, kecuali dua lelaki dan satu perempuan.
Ketiga orang asing itu membuat perkampungan tersendiri di daerah Gunung Pelawan, Belinyu. Legenda lain mengisahkan, suku Lom merupakan keturunan pasangan lelaki dan perempuan yang muncul secara misterius dari Bukit Semidang di Belinyu setelah banjir besar surut.
Ketua Lembaga Adat Provinsi Bangka Belitung Suhaimi Sulaiman memperkirakan, suku Lom merupakan keturunan dari bangsawan Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur, yang lari karena tidak mau memeluk Islam, sekitar abad ke-16 Masehi. Kaum pelarian itu menyeberangi laut untuk mencari penghidupan baru dan terdampar di Tanjung Tuing.
Mereka masuk ke pedalaman di daerah Gunung Muda dan membuat perkampungan di tengah hutan yang tersembunyi. Karakter sebagai pelarian membuat suku itu hidup dengan menutup diri dari dunia luar. "Suku itu sering juga disebut sebagai suku Mapur karena tinggal di dekat daerah Mapur," tutur Suhaimi.
Lepas dari semua perkiraan itu, sebagian besar masyarakat Kepulauan Bangka Belitung yakin, suku Lom merupakan suku tertua di daerah tersebut. Budayawan muda yang tinggal di PangkalPinang, Willy Siswanto, memperhitungkan, suku Lom berasal dari komunitas Vietnam yang mendarat dan menetap di daerah Gunung Muda, Belinyu, sekitar abad ke-5 Masehi. Jadi, suku itu telah ada jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya yang berkembang abad ke-7 Masehi dan kuli kontrak timah dari China berdatangan sekitar abad ke-18 Masehi.
"Orang-orang Lom merupakan komunitas yang pertama kali mendiami daerah Bangka Belitung. Tidak ada catatan sejarah yang menceritakan suku lain sebelum suku Lom," papar Willy Siswanto.
Spekulasi lain yang banyak dibicarakan adalah misteri Bubung Tujuh yang berarti tujuh rumah tertua di suku Lom. Masyarakat setempat percaya bahwa terdapat tujuh keluarga yang merupakan keturunan pertama dari nenek moyang suku. Setelah ayah-ibunya meninggal, ketujuh keluarga itu membuat rumah sendiri sebanyak tujuh rumah di kaki bukit di tengah hutan. Rumah itu berbentuk rumah panggung yang tinggi dengan atap daun nipah.
Beberapa kalangan percaya, Bubung Tujuh sering menampakkan diri pada orang-orang tertentu pada malam tertentu. Mitos itu begitu menggoda sehingga masyarakat yang mengunjungi suku Lom sering penasaran dan selalu menanyakan misteri ini. Namun, bagi suku Lom sendiri, Bubung Tujuh sudah jadi mitos yang terlalu dibesar-besarkan.
"Saya orang Lom asli dan hidup bersama sejak masih tinggal di hutan-hutan sampai menetap di perkampungan. Tetapi, sampai sekarang saya tidak pernah menyaksikan Bubung Tujuh. Itu terlalu dikarang-karang oleh orang luar saja," tandas Ny Uded alias Tem. Tem, ibu kandung Kepala Dusun Air Abik, Tagtui, merupakan penganut adat yang telah berusia 80 tahun.
PADA mulanya suku Lom hidup secara berkelompok di tengah hutan dan sering berpindah-pindah mengikuti pembukaan ladang baru. Gaya hidup itu menyulitkan aparat pemerintah setempat, terutama dalam melakukan pendataan penduduk secara rutin. Sekitar tahun 1973 pemerintah Orde Baru menggiatkan Proyek Perkampungan Masyarakat Terasing (PKMT) dengan membangun sekitar 75 rumah semipermanen di daerah Dusun Air Abik. Rumah proyek itu berbentuk rumah kayu beratap genteng, berukuran sekitar 4 x 4 meter.
Rumah tersebut baru ditempati sekitar tahun 1977, dan sekarang telah menjadi kampung yang dihuni sekitar 139 keluarga. Mereka ini sering disebut sebagai "Lom Luar" karena telah hidup menetap di satu tempat dan bisa ditemui oleh orang luar sewaktu- waktu.
"Awalnya kami masih senang tinggal di hutan dan terus berpindah-pindah. Tetapi, Presiden Soeharto itu baik hati karena mau menyediakan rumah gratis, memberi bahan makanan, gula, dan kopi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah lima tahun dibangun, akhirnya kami mau menempati kampung ini," tutur Tem.
Di luar kampung itu, masih ada sekitar 40 keluarga yang tetap memilih hidup berpindah-pindah dan mengandalkan hidup dari ladang berpindah. Mereka yang disebut "Lom Dalam" ini hidup dalam kelompok-kelompok kecil atau sendiri di tengah hutan yang lebat dengan jarak antarkelompok sekitar dua sampai lima kilometer.
Perumahan komunitas "Lom Dalam" masih semi permanen, berupa rumah panggung dengan dinding kulit kayu dan atap daun nipah. Kehadiran mereka sulit dilacak karena mereka bisa berpindah sewaktu-waktu tanpa diduga, dan perpindahan itu menggunakan jalan tikus di tengah hutan yang bercabang-cabang dan membingungkan. Bagi orang luar yang kurang memahami daerah itu, keberadaan mereka menjadi misterius, antara ada dan tidak ada.
"Banyak orang bilang, suku Lom Dalam misterius. Padahal sesungguhnya mereka hanya sulit dicari karena cenderung bersembunyi dan terus berpindah-pindah tempat. Karakter kaum pelarian masih melekat dalam benak mereka sehingga mereka menghindari kemapanan yang mudah dilacak orang asing," tutur Suhaimi Sulaiman yang pernah mengunjungi suku Lom pertengahan tahun 1980-an.
Sekilas, perkampungan di Air Abik hampir tidak jauh berbeda dengan perkampungan suku Melayu atau masyarakat China peranakan di daerah Belinyu. Meski kondisi beberapa rumah proyek masih tetap utuh sebagaimana pertama kali dibangun 28 tahun lalu, tetapi beberapa rumah telah dipugar menjadi rumah tembok permanen yang mentereng.
Fauzan Rishadi
13:50
New Google SEO
Bandung, Indonesia