Ada sejumlah versi penjelasan tentang pulau seluas 480.010 hektar atau 4.800 kilometer persegi itu. Namun, menurut Bupati Belitung Darmansyah Husein, Belitung hanya dipakai untuk menyebutkan nama wilayah administratif. Misalnya, Kecamatan Belitung, Kabupaten Belitung, atau Kabupaten Belitung Timur, atau Provinsi Bangka Belitung. Sebaliknya, Belitong khusus nama pulau atau kawasan, “Kalau menyebut Belitong berarti untuk seluruh wilayah pulau ini. Artinya, Belitung adalah bagian dari Belitong,” kata Darmansyah.
Belitong juga dianonimkan dengan dengan Bali terpotong. Konon pada ribuan tahun silam daratan itu terletak di semenanjung Pulau Bali. Namun wilayah tersebut kemudian terpotong dan hanyut terbawa arus gelombang arus gelombang besar menuju arah utara, membentuk pulau di wilayah timur Sumatera, “itu sebabnya dahulu orang menyebutkan dengan Belitong atau Bali yang terpotong,” kata Bupati Belitung Timur Basuri Purnama. Legenda itu menyebutkan bahwa pada ribuan tahun silam hidup seorang raja yang adil dan bijaksana di Pulau Bali. Dia sangat disegani, dihormati, dikagumi, dan disenangi rakyatnya. Raja yang karismatis ini hanya memiliki seorang putri nan cantik jelita.
Kecantikan sang putri itu membuat para putra mahkota dari kerajaan tetangga tergila-gila, dan satu demi satu satu datang melamarnya. Akan tetapi semua, semua lamaran itu tersebut selalu ditolaknya. Dia bergeming terhadap secuil pun kekayaan, kemewahan, ketampanan dan pesona yang dimiliki para putra mahkota itu.
Sikap sang putri tersebut membuat kedua orang tua terheran-heran. Raja dan Permaisuri ini terus bertanya: mengapa putri mereka tidak sedikit pun lamaran dari para putra mahkota tersebut? apa yang kurang dari para pangeran muda itu sehingga putri tunggal mereka tidak mau membukakan pintu hatinya sedikit pun?
Hari-hari selanjutnya rasa penasaran sang raja terus menggumpal. Dia kemudian mencoba menanyakan kepada permaisuri, tapi tidak diperoleh jawaban. Namun, permaisuri meyakini ada sesuatu hal yang disembunyikan putri kesayangan mereka. Rajapun menugaskan istrinya untuk mencoba mencari tahu penyebabnya.
Setelah dilakukan pembicaraan dari hati ke hati, sang putri akhirnya mengabarkan kepada ibunya bahwa dirinya sebetulnya sedang menderita penyakit kelamin. Itu sebabnya dia memilih untuk menolak semua lamaran dari para pangeran. Mendengar kabar itu, raja bagai tersambar petir. Dia kemudian meminta bantuan kalangan ahli pengobatan. Bagi siapa yang mampu menyembuhkan penyakit putri tunggalnya, yang bersangkutan diizinkan mempersunting gadis jelita tersebut. Namun, sayembara itu gagal karena tak satu pun ahli pengobatan yang sanggup.
Demi mencegah penyebaran virus penyakit tersebut, raja dan permaisuri memilih mengasingkan putri mereka ke sebuah hutan di semenanjung yang terletak di utara Pulau Bali. Para hulubalang langsung dikerahkan untuk membangun pondok khusus untuk tempat tinggal sang putri di lokasi pengasingan. Setelah semua persiapan tuntas, sang putri pun diantar ke semenanjung Bali. Di sana, dia tinggal seorang diri dan hanya di temani seekor anjing kesayangannya bernama Tumung. Sang putri menerima pilihan ini demi keselamatan warga di kerajaan itu.
Konon saking dekatnya dengan Tumung, sang putri pun membiarkan anjing kesayangannya tersebut menjilati sumber penyakitnya . Bahkan, semakin sering dijilat, penyakit yang diderita juga akhirnya sembuh. Fakta tersebut membuat hubungan antara sang putri dan Tumung pun bertambah dekat. Bahkan keduanya pun sering melakukan kontak fisik dan akhirnya hamil. Konon, putri raja itu akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki yang berekor.
Berita itu disampaikan para hulubalang kepada raja. Mula-mula raja sangat senang karena putri kesayangannya sudah terbebas dari penyakit. Namun, amarah dia meledak ketika mengetahui putrinya hamil dari hasil hubungannya dengan Tumung. Perbuatan itu di nilai melecehkan martabat raja dan kerajaan. Raja pun langsung bersumpah dan mengutuk perbuatan putrinya. Beberapa hari berikutnya terjadi angin kencang, gelombang pasang, dan tanah di semenanjung itu pun bergetar. Tidak lama kemudian, daratan semenanjung tersebut terpotong atau terputus dari Pulau Bali, bahkan langsung dibawa arus besar menuju ke arah utara.
Saat itu, di sebelah timur Sumatera, ada dua nelayan sedang melaut menggunakan perahu tradisional. Tiba-tiba terlihat sebuah gundukan tanah yang sangat besar disertai pohon-pohon yang besar terhanyut dan melintas di depan mereka. Kedua nelayan itu pun akhirnya mendekati gundukan tersebut, dan melemparkan jangkar pada salah satu bagiannya.
Beberapa saat kemudian, gundukan raksasa itupun berhenti dan menancap di perairan itu. Sejak itu pula lokasi tersebut menjadi satu pulau sendiri. Warga setempat kemudian memberikan nama Belitong atau Bali terpotong. “Saya tidak tahu persis hubungan antara legenda itu dan kehadiran pengaruh Kerajaan Mataram di Pulau Belitong, tetapi fakta ini bisa saja memiliki korelasi,” kata budayawan Belitong, Ian Sancin. (JAN)
Pulau Bangka adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah timur Sumatra, Indonesia dan termasuk dalam wilayah provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Populasinya pada 2004 berjumlah 789.809 jiwa. Luas pulau Bangka ialah 11.693.54 km².
Bangka menurut bahasa sehari-hari masyarakat Bangka mengandung arti "sudah tua" atau "sangat tua", sehingga pulau Bangka dapat diartikan sebagai "pulau yang sudah tua". Bila merujuk pada kandungan bahan galian yang terdapat di daerah ini, pulau Bangka banyak mengandung bahan-bahan galian mineral yang tentunya terjadi dari proses alam yang berlaku berjuta-juta tahun. Salah satu contohnya adalah bahan galian timah, oleh karenanya masyarakat menyebutnya dengan sebutan Pulau Bangka.
Kata bangka dapat juga berasal dari kata wangka yang artinya timah. Karena di daerah ini ditemukan bahan galian timah, maka disebut Pulau Timah. Karena pergeseran atau bunyi bahasa yang berubah maka masyarakat lebih lekat memanggil pulau ini dengan kata Pulau Bangka atau pulau bertimah. Menurut cerita rakyat, Pulau Bangka tidak mempunyai penduduk asli, semua penduduk adalah pendatang dari suku yang diberi nama suku sekak. Masyarakatnya masih menganut animisme. Kemudian masuk bangsa melayu dari daratan malaka dengan membawa agama Islam yang kemudian berkembang sampai sekarang.
Versi II
OLEH Bangtjik Kamaluddin
Legenda mengisahkan, ada sebuah kapal besar dihantam amukan badai, akhirnya kandas. Badan kapal yang kandas ini kemudian menjelma menjadi Pulau Bangka, sedangkan tiang-tiang kapal berubah menjadi gunungnya. Di kisahkan pula ada sebuah kapal penyelamatnya hanyut ke arah Timur kemudian kandas, selanjutnya berubah menjadi Pulau Belitung.
Selama ini tidak sedikit diantara kita yang mengetahui sejarah pertama kalinya ditemukan timah di Pulau Bangka, oleh siapa, dan dijadikan apa timah itu. Begitu juga dengan daerah yang memiliki keindahan alam dan panoramanya yang bagus, juga tidak diketahui siapa yang menemukannya pertama kali. Apalagi tentang nama pulau sebagai daerah penghasil timah nomor satu di nusantara ini yang sekarang bernama Pulau Bangka.
Tentunya para pembaca setuju bukan, kalau ada yang mau bercerita tentang itu, meskipun kurang pas atau mungkin salah menceritakannya penulis berharap penuturan ini dapat dibaca saat senggang, cerita ini dituturkan apa adanya baik yang pernah dibaca maupun yang pernah didengar saja.
Penulis pernah membaca dan mendengar dari berbagai sumber sebagaimana yang tertera dalam Peta Tertua, disitu disebutkan nama Banca untuk Pulau Bangka yang menurut datanya berasal dari peta Portugis pada pertengahan abad ke 17. Mengenai penamaan baru ini juga diikuti pemeta berkebangsaan Inggris, yang bernama Herman Moll dan terkenal dengan A Map of East Indies nya, dicetak untuk keperluan East India Company Tahun 1678 -1732. Sementara pekerjaan yang lebih rinci lagi dilakukan pemeta berkebangsaan Belanda hal ini dilakukannya dalam upaya merinci peta wilayah Indonesia untuk kepentingan VOC oleh seorang bernama Franccois Valentyn yang terkenal dengan Eyland Sumatera diterbitkan di Amsterdam pada tahun 1724.
Mari sejenak kita simak cerita yang berkembang di masyarakat dalam berbagai versi cerita dari beragam legenda untuk menyebutkan asal nama Pulau Bangka, dari sekian banyak versi cerita legenda yang berkembang hingga saat ini belum diketahui secara pasti mana yang benar. Seperti halnya versi nama pulau Bangka yang dihimpun Ir. Sutedjo Suyitno yang dulunya sebagai seorang karyawan dan pejabat pada bagian Eksplorasi dan Geologi (EG) di Perusahaan Tambang Timah Bangka, saat ini beliau lebih dikenal sebagai tokoh penulis sejarah Bangka, disamping itu beliau juga adalah salah seorang yang ikut ambil bagian dalam memperjuangkan berdirinya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Diceritakan dulu pulau ini pada abad ke 16 dinamakan Chinabara, Chinapata atau China Batto sekitar pertengahan abad ke 17 tiba-tiba mendapat nama baru dengan sebutan Banca atau Banka atau Bangka, menurut selentingan yang tercetus sampai saat ini tidak ada yang dapat menduga pergantian nama tersebut.
Konon dicerita pada awal abad 19 ada seorang guru yang mengajar di Inlandsche Scool Mentok bernama H. Idris beliau pernah menulis legenda tentang penamaan Bangka dalam bahasa Melayu kuno dan tulisan itu kemudian diterjemahkan oleh EC.Ade Clercg,dalam bukunya Bijdrage Tot de Geschiedenis Van Het Eiland Banka. Penuturan dari legenda itu hingga sekarang masih hidup di masyarakat pulau ini, yang merupakan sumbangan bagi kepentingan sejarah Bangka.
Memang ada beberapa versi cerita dari legenda ini, meskipun berbeda, pada hakekatnya ada kemiripan antara satu dengan yang lain, menurut versi yang pernah penulis baca, ada legenda versi Panji, versi Mentok, versi Balar dan versi Paku.
Kalau menurut legenda versi Panji begini ceritanya, dari kepercayaan penduduk desa Panji di Belinyu dan orang Sekak menuturkan, ada seorang anak raja Bugis bernama Seri Gading diusir oleh orang tuanya bernama Raja Tumpu Awang, karena berbuat serong. Diisyaratkan padanya baru diperbolehkan kembali bila sudah mendapatkan seorang isteri yang baik. Alkisah menceritakan maka berlayarlah Seri Gading dengan kapal besar yang dilengkapi awak kapal bersenjata lengkap, mereka menuju ke Jawa dan sekitar wilayah Melayu.
Selama menetap di Johor, Seri Gading mendapatkan jodoh dan mempersunting seorang putri keturunan Cina, kemudian ternyata menjadi seorang isteri yang baik. Karena sudah memenuhi persyaratan yang dikehendaki orang tuanya bertolaklah Seri Gading kembali ke negeri asalnya. Malang tak dapat dicegah dalam pelayaran pulang kapalnya dihamuk badai dan terdampar di sebuah pulau yang bergunung tinggi.
Singkat cerita Seri Gading bersama sisa-sisa awak kapalnya menemukan sebuah pondok, dibawah serumpun bambu tak jauh dari halaman pondok itu diketemukan dua sosok mayat atau bangkai laki-laki dan perempuan. Pulau yang asing baginya itu kemudian dinamakannya Bangkai, lama-kelamaan berubah menjadi Bangka.
Ada penuturan lain dari versi ini, bahwa pulau asing tersebut dinamakan Bangka, berasal dari nama jenis kayu yang dipergunakan untuk membuat kapal tersebut, jenis kayu Bangka yang kemudian menjelma menjadi Pulau Bangka.
Sementara itu kalau menurut legenda versi Mentok menceritakan, pada zaman dahulu kala ada sebuah kapal besar dari Negeri Johor yang ditumpangi beberapa penumpang laki-laki dan perempuan. Nakhoda kapal besar itu bernama Ragam atau Ranggam. Kapal itu mengalami amukan badai dan akhirnya kandas. Badan kapal yang kandas ini kemudian menjelma menjadi Pulau Bangka, sedangkan tiang-tiang kapal yang tinggi berubah menjadi gunungnya. Lebih lanjut diceritakan juga ada sebuah perahu penyelamatnya hanyut ke Timur, kemudian kandas berubah dan menjelma menjadi Pulau Belitung. Kalau legenda versi Balar, penduduk desa Balar wilayah Sungaiselan (sekarang ibu kota kecamatan di Kabupaten Bangka Tengah) menuturkan , pulau ini berasal dari sebuah kayu besar dari jenis kayu Bangka yang hanyut dari Bugis.
Sedangkan legenda versi Paku, yang dituturkan penduduk Paku daerah Payung (sekarang ibu kota kecamatan di Kabupaten Bangka Selatan), nama Bangka berasal dari kata Bangkai yakni bangkai dari seorang berbadan besar mirip raksasa yang terdampar di pulau ini.Legenda dari berbagai versi ini setidaknya dapat dijadikan sebuah cerita yang menarik bagi anak cucu, apalagi diceritakan kepada anak atau cucu menjelang tidur yang tentunya akan berkembang dengan sendirinya bila nanti ditanyakan kenapa dan mengapa bisa begitu dan begini.
Sepanjang yang pernah penulis ketahui dan baca, secara ilmiah dari sekian banyak para pengamat dan penelti cenderung berpendapat nama Bangka berasal dari bahasa Sansekerta, Vanka yang berarti Timah secara keseluruhan baik itu Timah Hitam maupun Timah Putih. Dari sisi lain hal ini juga memperkuat dugaan kalau sebenarnya timah di Pulau Bangka telah diketemukan sejak masa lampau, ketika wilayah ini masih dibawah pengaruh Hindu atau di awal pemerintahan kerajaan Sriwijaya.
Seandainya memang nama Bangka itu berasal dari kata Bangkai, yang menurut ceritanya di pulau gersang ini kerap diketemukan bangkai dari para nelayan ataupun pelaut yang terdampar kemudian mati kelaparan. Atau dimungkin juga kata bangkai itu berasal dari banyaknya bangkai kapal besar yang kandas atau pecah menghantam karang yang banyak tersebar disekitar pulau ini, seperti yang dialami Seri Gading dan awak kapalnya, terserah anda menterjemahkan maknanya.
Beginilah cerita dari legenda yang ada bertutur, setidaknya bagi kita orang Bangka harus tahu dan bisa menceritakannya kepada orang lain, kerabat, sanak keluarga yang belum mengetahuinya, sebagai contoh ada anak bertanya pada bapaknya, pak guru bercerita di sekolah kalau nama Bangka berasal dari kata Bangkai apa benar? Kalau bapak yang bijak dan tahu akan menuturkan begini loh ceritanya, siapa takut.
Versi III
Asal Usul Nama Pulau Bangka memiliki beberapa versi. Temuan arkeologi yang terkenal adalah prasasti kota kapur yang menggunakan huruf pallawa dalam bahasa Melayu Kuno. Prasasti-prasasti kota kapur ini menunjukan pengaruh kerajaan sriwijaya atas pulau bangka kala itu, diperkirakan antara abad ke-6 Masehi dan abad ke-7 Masehi. Prasasti itu dibuat masa pemerintahan Dapunta Hyang, penguasa kerajaan Sriwijaya. Artifak ini ditemukan oleh seorang Belanda bernama J.K. van der Meulen di tahun 1892 di daerah kabupaten Bangka, kecamatan Mendo Barat. Kemudian artifak-artifak tersebut dianalisa oleh H. Kern, seorang ahli Epigrafi, dimana ia menganggap bahwa sriwijaya adalah nama seorang raja, karena “sri” mengindikasikan seorang raja. Hingga akhirnya George Cœdès (1886-1969), seorang sejarahwan dan arkeolog Perancis menyatakan bahwa Sriwijaya adalah sebuah Kerajaan. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak. Isinya berupa “low enforcement” bagi orang-orang pulau Bangka, yakni semua orang yang melawan atau memberontak terhadap Sriwijaya akan dihukum dan dikutuk. Di dalam salah satu prasasti tersebut tertulis “ VANKA “ dalam huruf pallawa, yang diartikan TIMAH.
Asal Usul Versi berikutnya adalah Nama Pulau Bangka berasal dari kata bangkai. Mengapa demikian? Hal ini berkaitan dengan banyaknya bangkai kapal yang kandas di pesisir Bangka. Sehingga akhirnya disebut Pulau Bangkai yang berubah menjadi Pulau Bangka. Adapula mitos adanya seorang raksasa besar yang mati terdampar dan bangkai si raksasa itu akhirnya menjadi pulau bangka. Versi lain, diantaranya ada yang mengatakan bahwa Pulau Bangka itu berasal dari jenis batang kayu namanya “ kayu bangka ” yang banyak dibuat menjadi bandan kapal.
Selanjutnya versi yang mengatakan bahwa Nama Pulau Bangka berasal dari orang-orang Tionghoa yang menyebutnya “BANGKA” yang artinya timah. Hal ini didukung dengan fakta-fakta sejarah dimana orang-orang Tionghoa dominan menjadi penambang timah jauh sebelum Belanda dan Inggris. Bahkan jumlah orang Tionghoa yang datang itu tercatat pernah hingga melebihi jumlah pribumi yang ada. Bagi orang Tionghoa, timah adalah alat yang penting untuk membuat kertas sembahyang dan perkakas, disamping mereka perdagangkan timah batangan dengan orang-orang Eropa. Hingga kini, keturunan orang Tionghoa tersebut masih mendiami Pulau bangka sebagai tanah air mereka. 90%-nya adalah Tionghoa suku Hakka (khek), mereka berbahasa Melayu bangka dan Thong Boi, Bahasa suku Hakka (khek), dan menjadikan “Urang Bangka“ atau “Bangka Ngin” sebagai identitas mereka sehari-hari.
Fauzan Rishadi
14:15
New Google SEO
Bandung, Indonesia